PENGURUS BAMAG FOTO BERSAMA BUPATI MAGETAN

PENGURUS BAMAG FOTO BERSAMA BUPATI MAGETAN

Telaga Sarangan Magetan

Telaga Sarangan Magetan
SUKSES DI TAHUN 2012

Jumat, 03 Februari 2012

Mamon vs Kekhawatiran

Janganlah khawatir! Demikianlah nasihat Yesus kepada para pendengar-Nya. Sebagian besar orang Kristen pasti setuju dengan pesan Sang Guru dari Nazaret ini. Dengan tegas mereka berkata, ”Kalau masih khawatir, itu artinya nggak punya iman. Kita ini orang Kristen. Punya Tuhan! Masak kita masih khawatir?”
Yang lainnya, meski setuju bahwa hidup manusia ada di tangan Tuhan, namun tak mudah bagi mereka mengaminkan pesan Yesus itu. Mereka menyatakan sembari mengeluh, ”Masak sih nggak boleh khawatir. Kita ini ’kan masih manusia” keluh mereka.
Allah atau Mamon
Lalu, sikap manakah yang tepat? Agaknya, banyak orang lupa bahwa khawatir itu sendiri merupakan salah satu rasa yang sering tiba-tiba datang tanpa permisi. Menurut guru saya, GMA Nainggolan, perasaan itu sesuatu yang di luar manusia. Dia menghampiri manusia. Dia tiba-tiba menyergap, yang membuat seseorang akhirnya takut. Jadi, khawatir sendiri merupakan hal alami. Tak ada bukan di antara kita yang pernah merencanakan sebuah kekhawatiran? Ah, besok saya mau khawatir!
Khawatir merupakan hal manusiawi, yang memang berasal dari luar diri kita. Jika khawatir berasal dari luar diri kita, tak pernah kita rencanakan, maka yang penting ialah bagaimana kita agar tidak dikuasai oleh kekhawatiran. Itu berarti kita harus mengendalikan perasaan khawatir itu!
Oleh karena itu, sebelum bicara soal hal kekhawatiran, Yesus mengingatkan para pendengar-Nya akan bahaya mamon. Mamon berasal dari bahasa Aram yang berarti harta benda. Yesus menegaskan: ”Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”
Dalam bukunya, Khotbah di Bukit, John Stott menyatakan ada saja orang yang tidak setuju dengan ucapan Yesus ini. Mereka menolak dihadapkan pada pemilihan yang begitu gamblang. Mereka akui bahwa itu hanyalah soal pengelolaan waktu belaka dan itu mereka buktikan dalam praktik. Mereka mengatakan bahwa mereka bisa mengabdi kepada Allah pada hari Minggu dan mengabdi pada mamon pada hari lainnya.
Namun itu bukanlah yang dimaksud Yesus. Di sini Yesus tidak bicara soal dua majikan. McNeile pernah berkata: ”Manusia memang bisa bekerja untuk dua majikan, tetapi tidak ada satu orang hamba yang memiliki dua tuan. Sebab kemilikan tunggal dan kesiapsiagaan selama 24 jam adalah tuntutan mutlak perhambaan.
Jadi setiap orang yang membagi kesetiaannya antara Allah dan mamon, pada dasarnya telah memberikan keseluruh kesetiaannya kepada mamon. Sebab kepada Allah, orang hanya dapat mengabdi dengan kesetiaan yang utuh, menyeluruh, dan mantap.
Sedikit contoh, jika kita bekerja di perusahaan jasa, maka sejatinya majikan kita itu banyak, yakni pelanggan kita. Tetapi, kita sama-sama tahu bahwa mereka memilih kita karena di mata mereka kita dapat dipercaya. Nah, persoalannya ialah apakah kita memang sungguh-sungguh dapat dipercaya.
Dan kalau sudah begini kita sungguh-sungguh tahu bahwa jika kita berfokus hanya kepada keuntungan belaka, dan mulai mengurangi kualitas, maka pelanggan kita berangsur-angsur akan pergi meninggalkan kita. Sejatinya, di tempat kerja pun pilihannya tetap apakah kita mengabdikan diri kepada Allah atau kepada mamon.
Jangan Khawatir
Dengan perkataan lain, jatuhnya pilihan kita secara asasi pada siapa kita mengabdi: Allah atau mamon, akan mempengaruhi sikap kita terhadap keduanya. Karena itu, demikian Yesus menasihati para pendengarnya, ”Karena itu, Aku berkata kepadamu: Janganlah khawatir tentang hidupmu, mengenai apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah khawatir pula tentang tubuhmu, mengenai apa yang hendak kamu pakai.” (Mat. 6:25).
Sejatinya, Yesus tidak menganggap sepele ketiga kebutuhan primer tadi—makanan, pakaian, dan perumahan. Kenyataannya semua itu merupakan ciptaan Allah juga. Dan Ia berupaya memenuhinya. Bukankah sebelumnya Yesus mengajarkan para pendengar-Nya berdoa: ”Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. Lalu apa yang Dia maksudkan di sini?
Pertama, Sang Guru dari Nazaret ingin memperlihatkan bahwa betapa mubazirnya jika seluruh perhatian kita disita oleh kesibukan mencari kepuasan badani. Yesus mencoba memperlihatkan bagaimana logika merupakan salah satu cara terbaik untuk mengendalikan rasa khawatir. Perhatikan kalimat-kalimat retoris yang dikemukakan-Nya:
”Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian? Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di surga. Bukankah kamu jauh lebih berharga daripada burung-burung itu? Siapakah di antara kamu yang karena kekhawatirannya dapat menambah sehasta saja pada jalan hidupnya? Mengapa kamu khawatir mengenai pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan memintal, namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu. Jadi, jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya?” (Mat. 6:25-30).
Ya, bukankah hidup itu lebih penting dari makanan dan tubuh itu lebih penting dari pakaian? Persoalannya sering kali memang di sini, kesehatan manusia modern lebih lebih diakibatkan bukan karena kekurangan makan, tetapi karena kebanyakan makan—terlebih makanan yang mengandung kolesterol. Ironis memang. Banyak orang sakit karena makan enak! Dan Yesus menekankan bahwa hidup itu lebih penting dari makanan.
Kedua, Yesus menekankan bahwa kita lebih berharga dari burung dan bunga bakung. Dan Yesus menekankan bahwa kita adalah anak-anak Bapa yang di surga. Hubungan kekeluargaan inilah yang seharusnya membuat perhatian anak-anak Allah tidak disibukkan oleh hal-hal tadi.
Ketiga, kekhawatiran tidak akan membuat umum kita lebih panjang, lebih pendek malah mungkin. Setidaknya, kekhawatiran akan membuat paras kita tampak lebih tua dari yang seharusnya. Khawatir akan membuat otot-otot wajah kita tegang; bedakan dengan kala kita tersenyum. Sehingga, Yesus menekakan, kalau memang umur kita tidak bertambah panjang, lalu mengapa harus khawatir?
Keempat, Yesus mengingatkan: ”Akan tetapi Bapamu yang di surga tahu bahwa kamu memerlukan semuanya itu.” Allah Bapa mengetahui apa yang kita perlukan. Di sini kita memang harus sungguh membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Allah memahami kebutuhan kita! Bukankah kita anak-anak-Nya?
Alasan Yesus sederhana, dan sangat logis, Bapa-Mu tahu bahwa kamu memerlukan semuanya itu! Dalam nubuat Yesaya, Allah digambarkan sebagai seorang Ibu. Perhatikan: ”Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau. Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku; tembok-tembokmu tetap di ruang mata-Ku.” (Yes. 49:15-16)
Namun, demikian itu tidak berarti bahwa kita tinggal duduk berpangku tangan saja. Saya selalu ingat puisi Arswendo: Tebarkanlah jalamu karena ikan tak melenggang ke dalam penggorengan. Memang burung tak kelaparan sampai mati. Tetapi burung perlu terbang ke tempat padi tumbuh sebab sejak semula padi tak dicipta tumbuh di ujung paruh.
Manusia memang harus bekerja dan mengusahakan semuanya itu. Dan Tuhan Yesus memang tidak melarang orang untuk merencanakan apa yang kita makan, minum, dan pakai, melainkan mengkhawatirkannya. Jadi bukan karena memikirkannya, tetapi menjadi susah akibat memikirkannya. Uskup Ryle pernah berkata: ”Persiapan bijaksana untuk hari esok adalah baik; yang salah ialah kekhawatiran yang meletihkan, merongrong, dan membuat kita tidak bahagia.”
Lagi pula, jangan sampai saking khawatirnya akan masa depan membuat kita melupakan keindahan hari ini. Jangan sampai, keceriaan hari ini menjadi sirna karena kita terlalu khawatir akan hari esok.  
Allah vs Berkat-berkat-Nya
Sehingga Yesus langsung menasihati: ”Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” (Mat. 6:33-34).Persoalannya, manusia sering berkonsentrasi pada hal-hal yang akan ditambahkan itu. Manusia lebih berkonsentrasi kepada berkat Allah, malah melupakan Allah itu sendiri. Kan repot jadinya? Apa yang kita harapkan: Allah atau berkat-berkat Allah? Lebih menitikberatkan pada berkat Allah akan membuat kita dikuasai oleh berkat Allah itu dan akhirnya kita malah melupakan Allah! Ingatlah nasihat pertama Yesus pada awal khotbah ini: ”Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”
Allah tentu lebih utama dari berkat-berkatnya. Sehingga Martin Luther dengan tegas berkata, ”Ke neraka pun aku mau asal bersama Tuhan!” Ya, apa artinya berkat Allah, namun kita kehilangan Tuhan sendiri?
Lagi pula, apa artinya tempat tidur empuk, jika kita tidak bisa tidur nyenyak. Bagi saya, tidur nyenyak pun merupakan anugerah Allah. Apa artinya makanan enak, jika kita tidak bisa menikmatinya? Rasa nikmat, rasa syukur, semuanya itu adalah anugerah Allah. Allah lebih penting dari berkat-berkat Allah. Berkat-berkat Allah jika tidak kita kelola dengan baik malah bisa menguasai kita. Berkat-berkat Allah bersifat sementara, sedangkan Allah sendiri bersifat kekal.
Tak heran, pemazmur menasihati: ”Berharaplah kepada Tuhan hai Israel dari sekarang sampai selama-lamanya” (Mzm. 31:3).

Yoel M. Indrasmoro
27 Feb 2011, written by Nikimaserika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar